Tidak Perlu Menunggu Menjadi Pintar

“Tidak perlu menunggu menjadi pintar untuk bermanfaat. Tidak perlu menjadi sempurna untuk berguna….” – Okina Fitriani

Jika menunggu pintar dan menunggu diri ini sempurna, mungkin sampai hari ini Islamic Parenting Community belum jua terbentuk. Mungkin bisa juga melalui tangan orang lain. Namun Allah Maha Berkehendak, melalui tangan siapa pun, jalan kebaikan bisa terlaksana. Hanya kala itu Allah percayakan IPC terbentuk melalui saya.

9 Januari 2015 IPC berdiri. Apa alasan saya mendirikan IPC? Pertama, menyadari bahwa diri ini membutuhkan wadah untuk sama-sama saling sharing, bermanfaat dan berperan. Di mana kondisi ibu saat sudah memiliki anak, terutama jika masih bayi dan balita pada umumnya merasakan kesulitan untuk keluar rumah, maka IPC hadir sebagai komunitas ramah event offline (tidak harus keluar rumah). Sehingga kebutuhan ibu tetap dapat terpenuhi seperti kebutuhan akan ilmu terutama parenting berbasis islam (Al-Qur’an & Sunnah). Pun aktualisasi diri dan kebutuhan bersosialisasi (meski hanya via Whats App.).

Kedua, saya terinspirasi dari status facebook teman. Beliau memiliki keinginan yang besar untuk bisa ke Palestina. Ingin menolong dan berkontribusi sesuai keahlian beliau. Beliau menyadari bahwa jika hanya mengandalkan amalan pribadi, maka sulit sekali rasanya bisa memperoleh tiket ke surga-Nya Allah. Ya Rabb… seketika darah saya berdesir. Benar adanya, setiap hari berapalah amalan yang bisa saya lakukan. Sementara dosa-dosa tak kalah hebat berpacu dengan pahala. Siapa yang menang? Entahlah, bisa jadi skor imbang atau malah dosa yang menjadi pemenang. Na’udzubillah. Di saat diri ini sempat
ragu bahwa belumlah sempurna, khawatir ini itu dan sebagainya, Allah kuatkan azzam saya untuk segera merealisasikan terbentuknya IPC. Berharap inilah salah satu amalan yang bisa saya bawa saat bertemu dengan-Nya nanti. Amalan jariyah insya Allah.

Alhamdulillah hingga saat ini IPC sudah 10 group. Berjumlah sekitar hampir seribu member tersebar dari Aceh hingga Papua, bahkan WNI domisili luar negeri seperti Mesir, Jepang, Jerman, Perancis, UK. Tak pernah menduga bisa berkembang pesat seperti sekarang. Alhamdulillah Allah pertemukan dengan teman-teman Manajemen yang sungguh memiliki dedikasi yang luar biasa. Apakah kami bersahabat/kenal dekat sebelumnya? Jawabannya tidak! Kami akrab dan benar-benar merasa dekat saat di IPC. Allah ikat hati kami. Bersama-sama membesarkan IPC. Sebut saja Teh Thasya, Mba Ning, Mba Ica, Bumay, Echa, Tika,
Sari, Mba Niken, Winwin, Um Fit, Mba Lilik, dan Bebes. Jazakumullah sahabat sekaligus saudari-saudariku…

Hari ini kami diundang MQ FM untuk bincang komunitas. Seolah kembali dibawa ke tanggal 9 Januari lalu, dan menceritakan apa dan bagaimana IPC. Menyeruak rasa haru. Allah…. Sungguh tiada daya dan upaya selain pertolongan Mu…. Semoga IPC semakin bermanfaat dan bisa menjangkau kalangan yang lebih luas lagi. Aamiin. Benar, tak perlu menunggu menjadi pintar untuk bermanfaat. Tidak pula perlu menjadi sempurna untuk berguna.

Sudahkah Al-Quran Menjadi Prioritas

Aktivitas membaca buku seringnya bagi saya disesuaikan dengan kebutuhan. Apa yang paling dan amat sangat saya butuhkan saat ini. Belum tuntas 1 buku, eh pindah ke lain buku hehe.. *ga konsisten.

Bagi saya pribadi, buku tentang parenting memang penting dan harus dibaca, namun buku-buku yang bisa menguatkan diri menjadi parent juga tak kalah penting. Seperti buku-buku motivasi, kisah inspiratif, seputar kebahagiaan, dsb.

Tapi… sering lupa juga nih, bahwa dengan membaca dan memahami Al-Qur’an ini jauuuuuh lebih penting *Getok kepala, baca Qur’an masih seadanya, hiks. Gimana ga gampang galau, sedih, marah jika ternyata petunjuk dari Allah saja di baca seadanya dan belum dipahami lebih jauh.

Jelas-jelas menurut hasil penelitian, dengan membaca Al-Qur’an akan membawa perasaan positif bagi pembacanya. Membaca, memahami dan mengulang-ngulang ucapan yang mengandung kata-kata hikmah dapat meningkatkan kebahagiaan. Semangat dan jadikan Al-Qur’an sebagai bacaan utama. Tak hanya membaca tapi juga memahami! Semoga Allah mudahkan juga dalam penerapannya. *Mulai rencanakan nyicil Tafsir Ibnu katsir.

Pujian dan Cacian Hanyalah Efek Samping

Pujian dan cacian merupakan hal yang lumrah. Seringnya menjadi serius saat niat yang mengiringi setiap aktivitas kita tidak/kurang tepat. Niat yang lurus memang sangat menentukan dan saya sepakat dengan yang Bu Okina bilang, kondisi nol.

Nol adalah ketika kita:

1. Sudah melakukan yang terbaik dan tidak terganggu oleh apa pun hasilnya.

2. Tidak merasa berkepentingan terhadap apa pun yang dibicarakan dan dipikirikan orang lain tentang kita.

3. Tidak perlu merasa hebat ketika berhasil atau menang.

4. Tidak terpuruk dan sedih berlarut-larut ketika gagal atau kalah.

5. Meletakkan pertarungan terbesar pada proses, bukan hasil.

6. Tidak merasa “lebih” daripada orang lain.

7. Percaya bahwa semua terjadi karena-Nya dan pengharapan terbesar kita adalah ridha-Nya.

Tidak mudah memang, namun bisa in sya Allah. Apalagi ada peluang bahwa niat bisa diperbaiki. Baik di awal, di tengah maupun di akhir. Seperti halnya sedekah, rejeki dan kesehatan adalah efek samping dari sedekah. Allah Maha Mengetahui apa yang paling kita butuhkan. Tugas kita hanya beribadah dan sedekah adalah bentuk rasa syukur kita. Semoga rejeki makin berkah. Tak perlu dipikirkan kapan si rejeki akan bertambah atau tubuh akan sehat kembali.

Begitu juga dengan pujian dan cacian. Jangan sampai membuat diri goyah. Hanyalah efek samping dari setiap yang kita lakukan. Ada atau tidak, menyakitkan atau membanggakan tidak berpengaruh. Contoh sederhana, saat ibu menyusui banyak tantangan yang dihadapi. Hanya karena badan yang tidak gemuk, bisa jadi bahan pujian karena tetap semangat menyusui. Namun bisa juga sebaliknya, jadi diragukan karena dianggap ASI yang akan diperoleh anak tidak akan cukup dan anak perlu tambahan susu formula. Luruskan niat selalu, ingat-ingat kembali tujuannya. Pertama dan utama karena Allah, in sya Allah hidup
menjadi lebih nyaman, berkah dan bahagia.

Me Time Yang Bersahabat

Bagi para ibu Me Time adalah suatu hal yang cukup penting. Namun saat berumah tangga tentu aktivitas ibu tak lepas dari buah hati, apalagi jika anak-anak masih kecil. Belum lagi aktivitas rumah tangga bagi full time mother dan aktivitas di tempat kerja bagi ibu yang bekerja. Kapan Me Time-nya?

Meski demikian, semua aktivitas amal ibadah di atas insya Allah indah dan menyenangkan jika dikerjakan dengan bahagia. Saya pribadi, sejak membaca tulisan Bunda Kaska yang dishare oleh salah seorang teman di group Whats App., Islamic Parenting Community, memutuskan tak lagi menggunakan istilah tersebut. Sepakat dengan tulisan beliau, menuntut adanya Me Time kok ya kesannya egois. “Bobok dong Kak, Ummi kan mau Me Time.” atau “Cepetan boboknya, kapan lagi waktu Ummi buat Me Time!”

Kehadiran anak-anak di hampir sepanjang waktu kita sudah selayaknya Our Time. Karena di dalam rumah tangga kan bukan hanya diri kita sendiri, melainkan juga ada suami, anak, dan mungkin ada anggota keluarga lainnya. Alhamdulillah sangat berterimakasih dengan tulisannnya Bunda Kaska, jazakillah… ^_^

Tapi kan kita-kita juga punya hobi/passion? Kebanyakan sulit bisa melakukannya setelah berumah tangga. Masa sih? *Senyum. Baiklah.. Baiklah.. Meski semua hobi tak melulu harus menyepi, namun bisakah tetap punya Me Time namun bersahabat? Bisa. Manajemen waktu jawabannya. Lagi-lagi terinspirasi, dari sahabat sekaligus kakak bagi saya Teh Thasya (saya memanggilnya uni karena sama-sama berasal dari Padang). Beliau bangun pukul 2 pagi. Awal mendengar saya cukup kaget. Apa engga kepagian? Buat tahajud okelah, tapi sekalian beraktivitas ini itu dan engga tidur lagi sampe malamnya? Nah lo.

Namun sekarang, setelah saya mencobanya sendiri ternyata luar biasa buibu. Meski baru di pukul 3, namun Ibadah-ibadah yang khusyuk, membaca dan menulis pun mulai dapat terpenuhi. Ngantuk kah di siang hari? Alhamdulillah engga! Seringnya persepsi kita yang membuat semua hal jadi terasa berat.

Jadi semakin bahagia kan ya, semua kebutuhan anggota keluarga juga jadi bisa terpenuhi? Udah ah, mengurangi sedikit waktu tidur insya Allah akan sepadan dengan terpenuhi kebutuhan si Me Time. Met Me Time!

Masa Yang Tak Kan Terulang

Sore ini Alhamdulillah saya lagi antusias dan semangat 45. Bersiap melahap buku karya Bu Ida S. Widayanti. Trilogi, catatan parenting 1 hingga 3. Ah benar saja, melihat buku selalu membuat mata saya berbinar-binar (keh..keh.. asli bukan rekayasa). Ini salah satu kebahagiaanku, mana kebahagiaanmu? ^_^

Waktunya Membuka Buku

Kata pengantar mungkin seringkali dilewatkan pembaca. Tidak oleh saya *senyum. Seringnya ada hal yang menarik yang sayang untuk dilewatkan. Bagi yang terbiasa melewatkan, coba sempatkan baca sesekali *senyum lagi. Di buku ini Ustadz Fauzil Adhim didapuk Bu Ida bertutur. Saya kutip beberapa paragraf dari sekian paragraf menarik lainnya.

“Ketika anak kita besar kelak, tak banyak yang bisa kita lakukan. Mereka telah memiliki dunia sendiri. Kita tak bisa memberikan pengaruh sebesar ketika mereka masih kecil. Teman-teman, sahabat karib, kerabat, sekolah, dan lingkungan sekitarnyalah yang akan lebih banyak mengajarinya.

Suatu saat kita ingin selalu berdekatan dengan mereka, ingin ditemani, ingin bercengkrama, dan bercanda bersama. Namun sayang, mereka sudah memiliki lingkungan lain dan mempunyai segudang aktivitas dan kesibukan. Kita tidak bisa memaksanya dan kita pun tak mampu menahan kepergiannya.

Karena itulah ketika mereka masih kecil, ketika Anda hampir tak bisa kemana-mana, syukurilah. Karena saat itulah saat keemasan untuk memberikan pendidikan dan menanamkan kebiasaan baik. Nikmatilah, karena saat itu adalah masa yang tak akan terulang lagi bagi kehidupan Anda.

….Saat ini kita mempunyai persediaan kalimat yang sangat banyak untuk menolak permintaan mereka menemani bermain dan belajar. Kira-kira, sudahkah Anda mempersiapkan diri Anda untuk masa ketika Anda sudah tak mampu memegang kemudi sendiri, bahkan untuk mobil terbaik Anda? Sungguh, saya telah melihat dan mendengar tentang orangtua yang harus menangis menanti anaknya. Sementara kerinduan telah lama mati di hati anaknya.

Kira-kira, orangtua seperti apakah kita ini?”

Jleb! kira-kira…. Orangtua seperti apakah kita? Semoga Allah jauhkan kita dari hal demikian. Dengan segala keriweuhan dan keterbatasan saat ini, Hadapi, Nikmati, Syukuri. Bismillah….

Baik, saya lanjutkan membaca ke halaman selanjutnya. Next in sya Allah saya akan bikin resensinya. Bagi yang berminat order bukunya bisa pesan ke saya, *ujung-ujungnya promo keh..keh.. Saya undur diri.. *Kembali khusyuk masyuk baca buku.